Kamis, 03 Februari 2011

MENGGUGAT SEJARAH NEGERI ALLANG oleh Adolf Jo Sipahelut pada 24 November 2010 jam 1:38

MENGGUGAT SEJARAH NEGERI ALLANG
oleh Adolf Jo Sipahelut pada 24 November 2010 jam 1:38

="9 MARGA" YANG DATANG DARI MALUKU UTARA (TERNATE, TIDORE, BACAN, OBI DAN HALMAHERA)=


BAHAN PERBANDINGAN


JEJAK ARKEOLOGI PENGARUH BUDAYA ISLAM DI WILAYAH MALUKUDAN MALUKU UTARA


Pengaruh Islam hadir di wilayah Kepulauan Maluku setidaknya sejak pungkasan Abad 13, yang ditandai dengan berdiri dan berkembangnya Kerajaan dengan pemerintahan bercor...ak Islam. Di Wilayah Maluku Utara di kenal empat Kerajaan Islam yang besar dan pengaruhnya yang tersebar luas. Empat Kerajaan tersebut adalah Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Wilayah Maluku bagian selatan, dikenal juga kerajaan yang cukup besar pengaruhnya dan perkembangannya sejaman dengan wilayah kerajaan Ternate, yakni Kerajaan Hitu, di bagian utara Pulau Ambon. Perkembangan kerajaan-kerajaan tersebut seiring pula dengan laju gerak niaga yang melibatkan para pedagang asing seperti pedagang Arab, Persia, China, Jawa serta Sumatra. Berkembangnya gerak niaga, dipicu oleh kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah kepulauan Maluku, yakni cengkeh dan pala yang terkenal seantero jagad.

Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. Di wilayah Pulau Ambon, Kerajaan Hitu juga dianggap sebagai pusat peradaban dan kekuasaan Islam yang sezaman dengan Ternate. Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat nusantara untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politik, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu. Pusat-pusat kekuasaan Islam Maluku telah berkembang menjadi daerah kesultanan yang melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke ’wilayah-wilayah seberang’.

Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara. Ternate, melebarkan sayap ke wilayah selatan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah. Sementara itu Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya. Kedua wilayah kesultanan itu saling bersaing melebarkan sayap kekuasaannya hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah pulau-pulau diseberang lautan.

Selain pelebaran sayap kekuasaan yang bertendensi politis, kerajaan-kerajaan besar tersebut juga menyebarkan dan mengembangkan paham-paham bertendensi kultural. Salah satunya adalah penyebaran dan pengembangan agama Islam di wilayah-wilayah pelebaran kekuasaan tersebut. Pengislaman ‘wilayah seberang’ kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan pusat kekuasaaan itu sendiri. Oleh karena itu bagian selatan Kepulauan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Seram dan pulau-pulau lainnya, keagamaan Islam menyebar dan berkembang berasal dari wilayah kerajaan di Maluku Utara, terutama Ternate dan Tidore. Dalam hal ini Hitu di Pulau Ambon adalah sebuah pengecualian, karena perkembangan Islam di Hitu sezaman dengan Ternate, bahkan sejarah mencatat Raja Hitu bersama Sultan I Ternate, yakni Zaenal Abidin belajar Islam pada waktu bersamaan di Gresik. Justru, dari pertemuan itu keduanya membangun relasi politik antara Hitu dan Ternate dalam suatu ikatan perjanjian yang mungkin sekali juga tentang penyebaran agama Islam di wilayah masing-masing. Proses pengislaman wilayah-wilayah seberang di wilayah Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, biasanya selain karena ekspansi politik, juga dibarengi dengan agenda-agenda perluasan perdagangan.

Jejak-jejak arkeologi atau bukti fisik pengaruh budaya Islam dapat dilihat dengan berbagai bentuk tinggalan budaya Islam masa lampau baik peninggalan kerajaan maupun peninggalan daerah negeri-negeri yang bercorak Islam. Daerah Pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara peninggalan arkeologi yang monumental misalnya istana atau kedaton, masjid kuno, alqur’an kuno dan berbagai naskah kuno lainnya, selain tentu saja berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan. Sementara itu, di wilayah Maluku bagian selatan, meskipun tidak berkembang menjadi sebuah kesultanan dengan wilayah kekuasaan yang lebih luas, namun pengaruh Islam dapat dilihat dengan adanya negeri-negeri bercorak keagaaam Islam. Diantara negeri bergabung menjadi kesatuan adat yang menunjukkan adanya ikatan integrasi sosial yang kuat. Meskipun tidak berkembang menjadi daerah Kesultanan namun negeri-negeri tersebut memiliki pemerintahan dan simbol-simbol kepemimpinan tertentu. Selain itu dapat dijumpai pula beberapa bangunan monumental peninggalan Islam yang tidak jauh berbeda dengan peninggalan yang terdapat di pusat-pusat kekuasaan Islam diantaranya masjid kuno, naskah kuno dan berbagai barang pusaka kerajaan. Jika di wilayah Maluku Utara terkenal dengan sebutan Moluko Kie Raha, yakni empat kerajaan sebagai pusat kekuasaan Islam yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, di wilayah Maluku bagian selatan, juga dikenal beberapa wilayah negeri yang juga dikenal dengan sebutan kerajaan, yakni Kerajaan Hitu, sebagai kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang paling besar yang selama ini dikenal dalam catatan sejarah. Ada pula kerajaan Hoamoal, di wilayah Seram Bagian Barat, yang juga tersiar dalam berbagai penulisan sejarah sebagai wilayah kerajaan Islam yang memiliki periodesasi yang sama dengan Kerajaan Hitu, dan bahkan menjalin kerjasama dalam rangka mengikis hegemoni kolonial. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang berpusat di desa Rohomoni. Di Pulau Saparua, terkenal dengan kerajaan Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam), sebagai dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh di wilayah itu sehingga dikenal sebagai sapanolua artinya sampan dua atau perahu dua yang dimaksudkan ialah pulau Saparua mempunyai dua Jasirah yang besar yang diatasnya berkuasa dua orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu disebelah utara Raja Iha dengan kerajaanya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Sirisori dengan Kerajaannya).

Beberapa catatan sejarah menyebutkan, di wilayah Maluku, Islam hadir karena penyebaran yang berasal dari Ternate. Jaffaar (2006) menuliskan, Islam adalah salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, seperti Hoamoal (Seram Barat), Saparua, Haruku dan sebagainya, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate (Jaffaar, 2006:55). Dapat disimpulkan kehadiran Islam di beberapa daerah di bagian selatan Kepualuan Maluku atau daerah Propinsi Maluku tak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi dan ekspansi kekuasaan oleh Kesultanan Ternate. Meski demikian, Islam terbukti telah menjadi salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate.

Islam, sebagai agama maupun kultur merupakan media ikatan integrasi, terbukti telah menyatukan berbagai negeri dalam satu ikatan kekuasaan politik dan kultural. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, wilayah-wilayah yang menerima Islam, secara otomatis juga mengakui kekuasaan kerajaan besar penyebar Islam. Daerah-daerah di wilayah bagian selatan Kepulauan Maluku baik sebagai kerajaan maupun negeri menyatakan menerima Islam sekaligus menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan bagian dari kekuasaan Kerajaan Ternate ataupun Tidore. Dapat dijelaskan pula, daerah-daerah Islam di bawah kekuasaan kerajaan Hitu di Pulau Ambon, merupakan negeri-negeri Islam yang memiliki pemerintahan adat sendiri, namun mengakui Hitu sebagai kerajaan Islam yang merupakan induk dari wilayah Islam lainnya di jazirah Leihitu Pulau Ambon, bahkan pengaruhnya kemungkinan juga menyebar ke wilayah pulau-pulau lainnya.

Dengan demikian, penerimaan keagamaan Islam secara resmi oleh pemerintah dalam hal ini kerajaan ataupun negeri telah menandai bersatunya beberapa pemerintahan otonom dalam persekutuan pemerintahan yang secara politis mengakui adanya satu wilayah tertentu sebagai induk atau pusat pemerintahan. Bukti-bukti arkeologi atau peninggalan budaya materi hingga saat ini masih dapat ditemukan dan dapat menjadi petunjuk paling berharga untuk melihat bagaimana identitas sosial masyarakat dalam dinamika keagamaan pada masa pengaruh Islam mulai masuk hingga masa terbentuknya kerajaan atau kesultanan dengan corak pemerintahan Islam. Sejurus dengan itu kemudian menjadi agama resmi kerajaan hingga menjadi anutan masyarakat hingga menjelang kolonial masuk, seterusnya pada masa hegemoni kolonial dan masa hengkangnya dari bumi Maluku.

Secara arkeologis bukti-bukti kemapanan Islam dapat ditelusuri di wilayah bekas Kerajaan Hitu. Dapat dikatakan pada wilayah bagian selatan kepulauan Maluku, kerajaan Hitu adalah sebuah wilayah dengan keagamaan dan budaya Islam yang paling kuat dan paling mapan. Daerah ini selama ini memang dianggap sebagai wilayah kerajaan Islam di Pulau Ambon yang kekuasaan dan keislamannya sejajar dengan Ternate. Di wilayah ini ditemukan bekas Masjid Kuno Tujuh Pangkat, yang dibangun diatas bukit bernama Amahitu. Selain bekas masjid kuno ditemukan juga naskah alquran kuno dan naskah kuno lainnya, pucuk mustaka masjid kuno, mahkota raja, kompleks makam raja, penanggalan Islam kuno, timbangan zakat fitrah dan lain-lain (Handoko, 2006; Sahusilawane 1996). Dari data arkeologi ini dapat menggambarkan bahwa kerajaan Hitu merupakan wilayah kerajaan dengan corak budaya Islam yang kuat. Sejauh ini tidak ditemui bukti-bukti baik secara arkeologis maupun laku budaya hidup yang menunjukkan budaya Islam bercampur baur dengan budaya non Islami. Dengan kata lain, setidaknya budaya Islam yang berkembang di wilayah Hitu, sejauh ini tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan daerah pusat penyebaran Islam lainnya. Laku budaya yang ada juga lazim ditemui di daerah lain, misalnya tradisi berziarah ke makam para Raja Hitu, merupakan kegiatan yang lazim sebagaimana daerah lainnya seperti tradisi ziarah ke makam para wali di Jawa. Selain itu di desa Kaitetu, yang pada masa kerajaan merupakan salah satu daerah kekuasaaan Hitu, sampai sekarang masih berdiri kokoh Masjid Tua Keitetu yang konon dibangun pada tahun 1414 M. Selain itu juga tersimpan naskah alquran kuno, kitab barjanzi, naskah penanggalan kuno dan sebagainya. Bukti-bukti arkeologis ini menunjukkan kemapanan Islam di wilayah tersebut. Dapat dilihat bahwa penyebaran Islam di wilayah ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam seperti dalam hal dakwah. Di wilayah Kerajaan Hitu misalnya, sangat mungkin naskah alquran kuno merupakan bukti atau untuk media sosialisasi Islam (Handoko, 2006), begitu juga kitab barzanji, naskah hukum Islam dan penanggalan Islam kuno. Data arkeologi ini dapat mewakili gambaran kebudayaan Islam di wilayah pusat-pusat peradaban Islam yang mapan keIslamannya, seperti halnya di wilayah Maluku Utara yang diwakili terutama kerajaan Islam Ternate dan Tidore.

dari sebuah gambaran sejarah diatas maka ada beberapa pertanyaan kritis yang dapat saya munculkan untuk melihat kembali sejarah negeri Allang:

1. benarkah sembilan marga ini keluar karena alasan ketidaknyamanan?.atau sebenarnya karena alasan penyebaran agama? atau juga, mereka adalah para pedagang yang ingin mencari daerah rempah-rempah yang baru.

2. saya mencurigai ke sembilan marga ini adalah penyiar agama islam, sebab mereka sudah mengenal agama islam sebelum mereka keluar dari ternate, tidore, bacan, obi pada tahun 1452.

3. mengapa sejarah yang disimpan dari tahun 1915 oleh almarhum Zadrak Kaipatty sbg sekretaris negeri Allang, yang mengatakan bahwa para leluhur kita belum mengenal agama seperti yang saya kutip dari tulisan sejarah negeri Allang di bawah ini" itulah sebabnya walaupun saat itu datuk leluhur belum mengenal suatu agama tetapi kepercayaan datuk hanyalah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, satu-satunya penolong hidup mereka sehingga nama dari negeri waktu itu disebut : "A L L A N A" yang mengandung arti: Allah telah menolong, Allah telah melindungi, Allah telah membungkus. Nama dari negeri ini terdiri dari dua suku kata yaitu Al dan Lana. Al artinya Allah dan Lana artinya Lindungi, Tolong dan bungkus."

padahal pada saat ke "9 marga" keluar agama islam sudah berkembang sebelum mereka keluar dari ternate, tidore, bacan, obi ??

4. kalaupun saat itu mereka belum mengenal agama, maka Tuhan Yang Maha Esa adalah "subjektifitas" penulis.

5. dilihat dari penamaan negeri ALLANG "ALLANA" yg berarti Allah telah menolong, Allah telah melindungi, Allah telah membungkus. yang terdiri dari dua suku kata AL yang artinya Allah dan LANA yang artinya lindungi, tolong dan bungkus.ini membuat kecurigaan saya lebih besar bahwa ke "9 marga adalah penyiar agama islam.

6. secara arkeologi, membuktikan juga bahwa ada "batu masjid" di negeri Allang, siapa yang memberikan nama ini??, sementara suku Alifuru jelas2 belum mengenal agama kalaupun ada hanya agama setempat "agama suku".

PERLUKAH KITA DEKONSTRUKSI SERTA MEREKONSTRUKSI SEJARAH KE "9 Marga", atau mungkin tahun 1452 adalah penomoran tahun yang salah???? pada saat mereka keluar dri daerah asal mereka???saya minta maaf kalo saya salah terhadap sebuah pikiran yang saya bangun, namun saya berpikir bahwa yang harus kita tinggalkan sebagai "sejarah negeri Allang" bagi anak cucu bukanlah sebuah sejarah yang rekayasa "subjektifitas" belaka. dan karena itu saya mengajak kita memberikan pikiran demi sebuah proses penulisan sejarah negeri Allang yang sebenarnya.........!!!!!!!



sekian dan terima kasih.

SALA TIGA, 24 NOPEMBER 2010

BY. Pdt. Jopi. Adolf. Sipahelut, S,Th



Tidak Suka · · Bagikan · Hapus

14 komentar:

  1. Pecahan Ex- Tujuh Uli di Tanah Hitu yang dahulunya merupakan Persekutuan Kuat Kerajaan Hitu yang kini menjadi Negeri-negeri di Sepanjang Jazirah Leihitu mempunyai Kultur Budaya yang sama yaitu Budaya Tanah Hitu……

    Berangkat dari tulisan saudara saya ingat dialog dengan Salah Satu Marga di Hitulama yaitu “Marga Koli” ahli warisnya menyatakan kepada saya bahwa awal mulanya “Fam Koli” adalah Pecahan dari “Fam Patti di Negeri Alang…..…berkaitan dengan asal muasal Leluhur Negeri Alang yang saudara Maksudkan berasal dari Ternate saya pikir satu Hal yg menarik dan perlu diungkapkan apa adanya agar sejarah atau cerita para datuk-datuk kita tetap pada porsi yg benar……..

    Berkaitan dengan “Fam Koli”……..”Fam Koli Sendiri di dalam Adat Hitu bergelar “JOU”……“JOU” adalah gelar untuk kelurga Bangsawan di Maluku Utara yg di implementasi di dalam Adat Hitu…....

    Beberapa tulisan Sejarah Malaku juga mengatakan untuk Bangsawan Maluku Utara tidak Pernah beragama lain selain agam Islam apalagi pada era 1400-an…….
    manfaat dari pelurusan sejarah untuk era masa kini adalah untuk menambah keakraban persaudaraan PELA dan GANDONG walau kita berbeda keyakinan………

    "Wassalam"

    BalasHapus
  2. Saya salut buat saudara yang ingin meluruskan sejarah... Dari tangan orang orang yg sengaja ingin memutar balikan kebenaran sejarah..

    Sekedar masukan... Buat saudara ;
    Bila saudara ingin meluruskan sejarah negeri Allang... Pertama tama yg dapat Saudara lakukan dengan menggali sejarah dari Dua Marga yaitu Sahbandar (Allang) dan Wakasala (Wakasihu). Kedua marga ini mempunyai hubungan erat satu sama lain dari dulu hingga sekarang......? Kira kira hubungan seperti apakah mereka...?....
    Sekedar info... Ok.

    BalasHapus
  3. saat negeri allang sedang merayakan idul fitri, portugis datang dan menyerang negeri, memaksa penduduk untuk pindah agama, hal itu memaksa raja alang saat itu PATTYALANG ZAMRUD, lari menyelamatkan diri, dia dan anggota keluarganya ke arah timur dan turun di wakasihu, sebagian anggota keluarganya (NAHUKOLIAO) memilih untuk tetap tinggal di negeri itu, sedangkan ia memilih untuk melanjutkan pelarian ke negeri hitu. sampai sekarang keturunan pattyAllang zamrud memakai marga Kolly, dengan gelar adat pattyhena, seperti gelar raja Allang hingga sekarang. yaitu pattyhena.

    dulu mendiang bapak pernah ke rumah tua kolly di allang dan berdialog dengan penghuni rumah saat itu, ada beberapa situs2 sejarah yang di tanyakan bapak kepadanya dan sama sekali dia tidak tahu, akhirnya mendiang bapak yang menunjukan situs2 itu kepada dia.

    lebih jelas tentang sejarah ini, datanglah ke hitu, atau ke wakasihu untuk marga nahukoly.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin referensinya tolong dishear jg boss biar kita dapat benang merahnya, yhanks bos

      Hapus
  4. Tulisan yang sangat kritis dan dinamis, namun statis terhadap bukti" yang rill. Terima kasih atas pencerahan demi meluruskan sejarah untuk anak-cucu.
    benar apa yang dikatakan di atas, bahwa marga wakasala yang berada di negeri wakasihu adalah marga yang berasal dari negeri alang yaitu sahbandar, dibuktikan dengan bukti" yang rill yang berada di negeri allang. Dan saudara yang bermarga sahbandar di allang pun juga mengakui hal itu. Dan untuk asal marga juga bisa dilihat nama sahbandar berkaitan erat dengan "syahbandar" dari ternate. Untuk tahun 1452 dimana mereka keluar dari daerah asal mereka mungkin sangat berkaitan errat dengan batu nomor yabg ada di desa tappy yaitu daerah petuanan negeri wakasihu yang menjadi pembatas antara negeri allang dan negeri wakasihu.
    Salam hormat kepada Bpk. Pendeta jopi adolf sipahelut S,Th.
    Sejarah adalah darah yang terus mengalir dari jantung sampai kulit.

    BalasHapus
  5. Helo. Saya ingin tahu tentang desa Allang punja soa2. Terimah kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. soa ralahalu, soa huwae, soa sohilait, soa kaya, soa nussy, soa siwalette, soa pelasula, soa tupang

      Hapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. ada satu hal yang cukup sensitif untuk dibahas secara objektif mengenai sejarah. beta lahir di Allang dan namun besar di Papua. beta menlanjutkan beberapa hal mengenai sejarah objektif dan sejarah yang subjektif. dua hal itu selalu ada dalam penulisan yang mencakup sebuah sudut pandang penulis.
    hal ini mempunyai imbas yang cukup memberatkan saat kita menaruh objektifitas dalam sejarah terutama sejarah Negri-negri di Maluku.pertanyaan seputar sejarah selalu di mulai dari kekuasaan, seperti teori yang mengatakan : siapa yang menguasai politik selalu menguasai sejarah. masalah objektifitas dan teknik selalu terhambat dengan sedikitnya literasi tertulis tentang objek kajian sejarah kita. kalaupun ada, biasanya itu merpakan bagian dari Tulisan tulisan para serdadu dan intelektual asing. hal ini menimbulkan cukup banyak sejarah yang penuh manipulasi dan kepentingan.
    data-data sejarah dalam budaya kita yang bersifat oral, kadang mengalami beberapa perubahan dari generasi ke generasi. maka penelahan kembali sejarah sudah pasti bersifat subjektif. sejarah di Maluku secara umum mempunyai banyak gaya pengadopsian cerita-cerita yang bersifat teologis. sampai pada pemaknaan kita kembali lagi diputar pada sebuah legitimasi secara tidak langsung tentang sejarah tersebut.
    tapi jika sentuhan teologis ini ada, maka pengaruh agama cukup besar. gugatan yang mungkin anda maksud mempunyai askpek objektifitas yang sangat sehat dan logis.
    tapi untuk gaya berpikir masyarakat pada umumnya, apalagi menyangkut asal-usul kadang objektifitas perlu kita kesampingkan. sebab terapan dari sejarah terlihat sakral dalam nilai tersebut di anggap sebuah kebenaran akhir bagi mereka yang punya sejarah. sejarah kita tak seperti sejarah barat yang penuh dengan pergolakan politik dan kekuasaan yang bisa kita ganggu gugat sesuai data. norma adat dalam sejarah kita sudah seperti sebuah agama yang dipercaya. menggugat sesuatu untuk kebenaran memang baik tapi ada aspek spiritual yang paling penting dari sejarah tersebut. itu adalah pengikat kita sebagai Allang. sebuah negri yang merupakan tempat kita lahir dan dibesarkan. negri yang punya sejarahnya dalam darah dan roh. mari kita melihat secara seimbang ....
    maaf untuk semua kekurangan dalam komentar ini, beta cuma mau bilang bahwa berpikir objektif tapi yang lebih penting adalah makna dan alasan spiritual dari sejarah dan budaya kita di Maluku
    khususnya Allang

    BalasHapus
  8. Pertanyaan saya adalah,apakah dulu moyang" Katong beragama Islam...mohon penjelasannya.

    BalasHapus
  9. Ia Benar Saudaraku, saat mereka keluar dari Utara mereka adalah Muslim yg bukan asal dari Utara. 🙏

    BalasHapus